PERKEMBANGAN PERBANKAN DARI TAHUN 1999 s/d 2010
Menurut UU RI No 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998
tentang perbankan, dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga
kegiatan, yaitu menghimpun dana,menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank
lainnya. Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank
sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan
menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito. Biasanya
sambil diberikan balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah
sebagai rangsangan bagi masyarakat.Kegiatan menyalurkan dana, berupa pemberian
pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-jasa perbankan lainnya diberikan
untuk mendukung kelancaran kegiatan utama tersebut. Bank didirikan oleh Prof.
Dr. Ali Afifuddin, SE.
Inilah beberapa manfaat perbankan dalam kehidupan:
- Sebagai model investasi, yang berarti, transaksi derivatif dapat dijadikan sebagai salah satu model berinvestasi. Walaupun pada umumnya merupakan jenis investasi jangka pendek (yield enhancement).
- Sebagai cara lindung nilai, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai salah satu cara untuk menghilangkan risiko dengan jalan lindung nilai (hedging), atau disebut juga sebagai risk management.
- Informasi harga, yang berarti, transaksi derivatif dapat berfungsi sebagai sarana mencari atau memberikan informasi tentang harga barang komoditi tertentu dikemudian hari (price discovery).
- Fungsi spekulatif, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan kesempatan spekulasi (untung-untungan) terhadap perubahan nilai pasar dari transaksi derivatif itu sendiri.
- Fungsi manajemen produksi berjalan dengan baik dan efisien, yang berarti, transaksi derivatif dapat memberikan gambaran kepada manajemen produksi sebuah produsen dalam menilai suatu permintaan dan kebutuhan pasar pada masa mendatang.
Terlepas dari funsi-fungsi perbankan (bank) yang utama atau
turunannya, maka yang perlu diperhatikan untuk dunia perbankan, ialah tujuan
secara filosofis dari eksistensi bank di Indonesia. Hal ini sangat jelas
tercermin dalam Pasal empat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang
menjelaskan, ”Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan
stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak”. Meninjau
lebih dalam terhadap kegiatan usaha bank, maka bank (perbankan) Indonesia dalam
melakukan usahanya harus didasarkan atas asas demokrasi ekonomi yang
menggunakan prinsip kehati-hatian.4 Hal ini, jelas tergambar, karena secara
filosofis bank memiliki fungsi makro dan mikro terhadap proses pembangunan
Sejarah Perbankan di Indonesia
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas
dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu terdapat beberapa bank yang
memegang peranan penting di Hindia Belanda. Bank‐bank yang ada itu antara lain:
- De Javasce NV
- De Post Poar Bank
- De Algemenevolks Crediet Bank
- Nederland Handles Maatscappi (NHM)
- Nationale Handles Bank (NHB)
- De Escompto Bank NV
Di samping itu, terdapat pula bank‐bank milik orang Indonesia
dan orangorang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank‐bank tersebut antara lain:
- Bank Nasional Indonesia
- Bank Abuan Saudagar
- NV Bank Boemi
- The Chartered Bank of India
- The Yokohama Species Bank
- The Matsui Bank
- The Bank of China
- Batavia Bank
Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia
bertambah maju dan berkembang lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh
pemerintah Indonesia. Bank‐bank
yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain:
- Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan BNI สน46.
- Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dar De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
- Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo.
- Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.
- Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.
- Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.
- NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.
- Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.
- Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.
Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke
pelosok pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank
Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum Syariah, dan juga BPR Syariah
(BPRS). Masing‐masing
bentuk lembaga bank tersebut berbeda karakteristik dan fungsinya.
C. Sejarah Bank Pemerintah
C. Sejarah Bank Pemerintah
Seperti diketahu bahwa Indonesia mengenal
dunia perbankan dari bekas penjajahnya, yaitu Belanda. Oleh karena itu, sejarah
perbankanpun tidak lepas dari pengaruh negara yang menjajahnya baik untuk bank
pemerintah maupun bank swasta nasional. Berikut ini akan dijelaskan secara
singkat sejarah bank‐bank
milik pemerintah, yaitu:
- Bank Sentral
Bank Sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI)
berdasarkan UU No 13 Tahun 1968. Kemudian ditegaskan lagi dnegan UU No 23 Tahun
1999.Bank ini sebelumnya berasal dari De Javasche Bank yang di nasionalkan di
tahun 1951.
- Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor
Bank ini berasal dari De Algemene
Volkscrediet Bank, kemudian di lebur setelah menjadi bank tunggal dengan nama
Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang bergerak di bidang rural dan expor
impor (exim), dipisahkan lagi menjadi :
- Yang membidangi rural menjadi Bank Rakyat Indonesia dengan UU No 21 Tahun 1968.
- Yang membidangi Exim dengan UU No 22 Tahun 1968 menjadi Bank Expor Impor Indonesia.
- Bank Negara Indonesia (BNI’46)
Bank ini menjalani BNI Unit III dengan UU No
17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia ’46.
- Bank Dagang Negara(BDN)
BDN berasal dari Escompto Bank yang di
nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun 1960, namun PP (Peraturan Pemerintah)
ini dicabut dengan diganti dengan UU No 18 Tahun 1968 menjadi Bank Dagang
Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank Pemerintah yangberada diluar Bank
Negara Indonesia Unit.
- Bank Bumi Daya (BBD)
BBD semula berasal dari Nederlandsch Indische
Hendles Bank, kemudian menjadi Nationale Hendles Bank, selanjutnya bank ini
menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan berdasarkan UU No 19 Tahun 1968
menjadi Bank Bumi Daya.
- Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Bank ini didirikan di daerah-daerah tingkat
I. Dasar hukumnya adalah UU No 13 Tahun 1962.
- Bank Tabungan Negara (BTN)
BTN berasal dari De Post Paar Bank yang
kemudian menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950. Selanjutnya menjadi Bank Negara
Indonesia Unit V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara dengan UU No 20
Tahun 1968.
Bank Mandiri merupakan hasil merger antara
Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia
(Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim). Hasil merger keempat bank
ini dilaksanakan pada tahun 1999.
Perkembangan
Perbankan di Indonesia
1.
Periode 1988-1996
Dikeluarkannya
paket deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 88), antara lain berupa relaksasi
ketentuan permodalan untuk pendirian bank baru telah menyebabkan munculnya
sejumlah bank umum berskala kecil dan menengah. Pada puncaknya, jumlah bank
umum di Indonesia membengkak dari 111 bank pada Oktober 1988 menjadi 240 bank
pada tahun 1994‐1995, sementara jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
meningkat drastis dari 8.041 pada tahun 1988 menjadi 9.310 BPR pada tahun 1996.
2.
Periode 1997-1998
Pertumbuhan
pesat yang terjadi pada periode 1988 – 1996 berbalik arah ketika memasuki
periode 1997 – 1998 karena terbentur pada krisis keuangan dan perbankan. Bank
Indonesia, Pemerintah, dan juga lembaga‐lembaga internasional berupaya keras menanggulangi krisis
tersebut, antara lain dengan melaksanakan rekapitalisasi perbankan yang menelan
dana lebih dari Rp 400 triliun terhadap 27 bank dan melakukan pengambilalihan
kepemilikan terhadap 7 bank lainnya.
Secara
spesifik langkah‐langkah yang dilakukan untuk menanggulangi krisis keuangan
dan perbankan tersebut adalah:
- Penyediaan likuiditas kepada perbankan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
- Mengidentifikasi dan merekapitalisasi bank‐bank yang masih memiliki potensi untuk melanjutkan kegiatan usahanya dan bank‐bank yang memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakannya.
- Menutup bank‐bank yang bermasalah dan melakukan konsolidasi perbankan dengan melakukan marger.
- Mendirikan lembaga khusus untuk menangani masalah yang ada di industri perbankan seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
- Memperkuat kewenangan Bank Indonesia dalam pengawasan perbankan melalui penetapan Undang‐Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang menjamin independensi Bank Indonesia dalam penetapan kebijakan.
3.
Periode 1999-2002
Krisis
perbankan yang demikian parah pada kurun waktu 1997 – 1998 memaksa pemerintah
dan Bank Indonesia untuk melakukan pembenahan di sektor perbankan dalam rangka
melakukan stabilisasi sistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Langkah
penting yang dilakukan sehubungan dengan itu adalah:
- Memperkuat kerangka pengaturan dengan menyusun rencana implementasi yang jelas untuk memenuhi 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision yang menjadi standar internasional bagi pengawasan bank.
- Meningkatkan infrastruktur sistem pembayaran dengan mengembangkan Real Time Gross Settlements (RTGS).
- Menerapkan bank guarantee scheme untuk melindungi simpanan masyarakat di bank.
- Merekstrukturisasi kredit macet, baik yang dilakukan oleh BPPN, Prakarsa Jakarta maupun Indonesian Debt Restrukturing Agency (INDRA).
- Melaksanakan program privatisasi dan divestasi untuk bankbank BUMN dan bank‐bank yang direkap.
- Meningkatkan persyaratan modal bagi pendirian bank baru.
4.
Periode 2003-2004
Berbagai
perkembangan positif pada sektor perbankan sejak dilaksanakannya program
stabilisasi antara lain tampak pada pemberian kredit yang mulai meningkat pada
inovasi produk yang mulai berjalan, seperti pengembangan produk derivatif
(antara lain credit linked notes), serta kerjasama produk dengan lembaga
lain (reksadana dan bancassurance).
Secara
garis besar, kebijakan perbankan pada 2003 masih melanjutkan kebijakan
perbankan yang telah berjalan, yaitu:
(1) program penyehatan perbankan,
meliputi penjaminan Pemerintah bagi Bank Umum dan BPR, rekapitalisasi bank umum
dan restrukturisasi kredit perbankan; dan
(2) pemantapan ketahanan sistem
perbankan yang meliputi pengembangan infrastruktur perbankan, peningkatan good
corporate governance, serta penyempurnaan pengaturan dan pemantapan sistem
pengawasan bank.
Meskipun
kinerja perbankan menunjukkan peningkatan, namun fungsi intermediasi perbankan
belum dapat mencapai tingkat yang optimal yang antara lain tercermin dari
meningkatnya kelonggaran tarik kredit dan relatif rendahnya LDR.
Kebijakan
Bank Indonesia di bidang perbankan pada 2004 secara garis besar masih
difokuskan pada upaya meningkatkan stabilitas perbankan dan meningkatkan
peranan perbankan dalam perekonomian dengan prioritas pada kegiatan penyaluran
kredit.
Langkah yang ditempuh untuk mewujudkannya terdiri dari:
(1) Pemantapan
ketahanan sistem perbankan dan program pemulihan perbankan yang meliputi
pelaksanaan program penjaminan Pemerintah (blanket guarantee), program
divestasi sebagai kelanjutan dari program rekapitalisasi perbankan,
restrukturisasi kredit, serta pengembangan infrastruktur perbankan;
(2)
Pemantapan penerapan prinsip kehati-hatian perbankan yang meliputi peningkatan
good corporate governance, penyempurnaan pengaturan dan system pengawasan bank;
dan
(3) Pengembangan Kredit Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang
sejalan dengan upaya mendorong fungsi intermediasi perbankan dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian. Tahun 2004 juga menandai dimulainya
implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan
arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang.
5.
Periode 2005-2006
Secara
umum kebijakan perbankan pada 2005 diarahkan pada 4 langkah besar yaitu upaya
melanjutkan proses konsolidasi, memperkuat infrastruktur perbankan,
meningkatkan tingkat kehatihatian perbankan dan mendorong fungsi intermediasi.
Tantangan
untuk meningkatkan peran dan stabilitas sektor keuangan, khususnya perbankan,
dalam perekonomian semakin besar. Dalam rangka membangun industri perbankan
yang mampu memenuhi tuntutan masyarakat ke depan dan menghadapi era
globalisasi, upaya untuk semakin memperkuat struktur perbankan nasional menjadi
bagian yang sangat penting. Dalam kaitan itu, Bank Indonesia tetap konsisten
melanjutkan langkah-langkah untuk mendorong proses konsolidasi perbankan pada
2006 yang tercantum dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Sementara itu,
maraknya inovasi produk keuangan dan hubungan yang semakin erat antara perbankan
dan lembaga keuangan bukan bank akan berpotensi meningkatkan tekanan stabilitas
pada sistem keuangan. Mengantisipasi hal tersebut, Bank Indonesia tetap
melanjutkan langkah-langkah yang diperlukan melalui beberapa program dalam
Arsitektur Keuangan Indonesia (ASKI) guna menciptakan landasan dalam membangun
sistem keuangan yang kokoh dan mampu menunjang kegiatan perekonomian nasional
secara berkesinambungan.
6.
Periode 2007-2008
Kinerja
perbankan pada tahun 2007 meningkat secara signifikan sejalan dengan kondisi
perekonomian yang semakin kondusif. Peningkatan kinerja tersebut terutama
tercermin pada penyaluran kredit yang melampaui target, kualitas kredit yang
semakin baik, dan rasio kecukupan modal yang jauh di atas ketentuan minimum.
Peningkatan penyaluran kredit didorong oleh kebijakan penurunan BI Rate dan
penyesuaian berbagai ketentuan, terutama pada ketentuan penilaian aktiva
produktif bank pada Maret 2007.
Pada
tahun 2008 Dampak kenaikan harga minyak dunia mulai mengimbas sektor perbankan.
Setelah beberapa tahun terakhir perbankan terus menunjukkan kinerja keuangan
yang baik dengan laba yang terus meningkat. Pada kuartal pertama tahun
2008 ini laba perbankan mulai menyurut. Dalam tiga tahun terakhir laba
perbankan mengalami pertumbuhan yang pesat yaitu dari Rp 33,9 trilyun tahun
2005 menjadi Rp 40,6 trilyun tahun 2006 dan pada tahun 2007 meningkat lagi
menjadi Rp 49,9 trilyun, atau rata-rata meningkat sebesar 21% per tahun.
Di
tahun 2008 menjadi titik awal terkuaknya kasus Bank Century yang menjadi perbincangan
hangat dikalangan publik dan penyidik. Dampak nyata dari pemberian bailout ini
adalah kerugian Negara sebesar 4 triliun rupiah yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Padahal dana yang berasal dari para pembayar pajak ini
seharusnya dialokasikan bagi kepentingan umum dan bukannya menjadi dana gelap
yang mengalir tanpa keterangan. Dana sebesar 4 triliun ini setidaknya bisa
dipakai untuk membantu penyelesaian tol trans-jawa atau membangun infrastruktur
pertanian maupun pertahanan.
Dampak lain dari pemberian bailout ini adalah dampak psikologis. Dampak psikologis ini ibarat pisau bermata dua karena selain memberi efek positif, tetapi juga memberi efek negatif. Efek positif dari pemberian dana ini adalah menguatkan kepercayaan investor, khususnya di saat pemberian bailout yang bertepatan dengan masa krisis global. Hal ini dapat memberi rasa aman untuk berinvestasi di Indonesia saat itu karena adanya jaminan dari pemerintah. Tetapi di sisi lain tidak adanya pertanggungjawaban dana sebesar 4 triliun telah membuat para investor mempertanyakan kapabilitas pemerintah dalam mengawasi penyaluran dana perbankan dan dalam skala lebih besar mengawasi perekonomian Indonesia.
Dampak lain dari pemberian bailout ini adalah dampak psikologis. Dampak psikologis ini ibarat pisau bermata dua karena selain memberi efek positif, tetapi juga memberi efek negatif. Efek positif dari pemberian dana ini adalah menguatkan kepercayaan investor, khususnya di saat pemberian bailout yang bertepatan dengan masa krisis global. Hal ini dapat memberi rasa aman untuk berinvestasi di Indonesia saat itu karena adanya jaminan dari pemerintah. Tetapi di sisi lain tidak adanya pertanggungjawaban dana sebesar 4 triliun telah membuat para investor mempertanyakan kapabilitas pemerintah dalam mengawasi penyaluran dana perbankan dan dalam skala lebih besar mengawasi perekonomian Indonesia.
7.
Periode 2009-2010
Bank
Indonesia (BI) menilai kondisi perbankan di Indonesia semakin baik, pasca
krisis 1997/1998. Menurut BI, hal ini terlihat dari rasio kecukupan modal (CAR)
yang cukup tinggi, yakni sebesar 17,4% per Desember 2009.
Fungsi
mediasi yang dilaksanakan oleh BI terbatas pada upaya membantu nasabah dan bank
untuk mengkaji ulang sengketa secara mendasar dalam rangka memperoleh
kesepakatan. Dengan perkembangan transaksi perbankan melalui berbagai sarana,
selain memberikan kemudahan bagi bank juga membuka peluang praktik tipibank
dengan modus penipuan menggunakan rekening bank sebagai media menerima hasil
penipuan/kejahatan. Sehubungan dengan hal tersebut, BI dan Working Group
Mediasi Perbankan telah melakukan diskusi dan menyusun draft Bye Laws
Pemblokiran Rekening Simpanan Nasabah. Menindaklanjuti hasil diskusi dimaksud,
pada tanggal 30 Oktober 2009, Komite Bye Laws dan Pengaturan yang terdiri dari
Asosiasiasosiasi perbankan (Perbanas, Himbara, Foreign Bank, ABKI, Asbanda dan
Asbisindo) telah menetapkan Bye Laws Pemblokiran Rekening Simpanan Nasabah
sebagai pedoman pelaksanaan pemblokiran rekening simpanan nasabah yang
digunakan menampung hasil kejahatan, dan pengembalian dana nasabah dalam hal
terjadi indikasi tindak pidana yang jenisnya diatur dalam Bye Laws.
Kebijakan
perbankan 2010 diarahkan untuk semakin meningkatkan peranan industri perbankan
dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Untuk mendukung hal
tersebut, BI memiliki 4 kebijakan utama perbankan berbasis insentif dan
disinsentif sebagai berikut :
- Peningkatan ketahanan sistem perbankan
- Peningkatan intermediasi perbankan
- Peningkatan peran perbankan syariah
- Peningkatan peran BPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar